Sering diabaikan , Kerusakan DAS sebabkan Kerugian Negara Mencapai Triliunan Pertahun.


 

 

CNBC Indonesia- Sebelum beranjak lebih jauh, perlu dipahami bahwa definisi DAS sangat berbeda dengan definisi sungai. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2011 tentang sungai, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.

Sementara itu, definisi DAS mencakup wilayah yang lebih luas lagi. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan no. 42 tahun 2009 tentang Pola umum, kriteria dan standar pengelolaan DAS terpadu, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami.

Sehingga, bicara mengenai degradasi DAS tidak terbatas pada pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga, industri, dan pertanian saja. Tetapi juga kerusakan lain seperti penyusutan luas hutan, kerusakan kawasan lindung, dan erosi lahan kritis.

Degradasi DAS tidak bisa dibiarkan berlarut-larut mengingat fungsinya sebagai daerah tangkapan air yang berperan penting menyediakan kebutuhan air bagi manusia. Lebih dari itu, menurut World Agroforestry Centre, DAS juga berperan dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air, mencegah banjir dan kekeringan saat musim hujan dan kemarau, dan mengurangi aliran massa (tanah) dari hulu ke hilir.

Berdasarkan kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan DAS menjadi salah satu pemicu utama penyebab bencana di Indonesia, dari mulai banjir hingga longsor.

Uniknya, bencana hidrometeorologi (seperti banjir dan longsor) merupakan bencana paling dominan di Indonesia, dengan porsi sebesar 80%. BNPB juga menambahkan bahwa dampak ekonomi bencana tersebut mencapai rata-rata Rp 30 Triliun per tahun, itu di luar kerugian korban jiwa.

Bukan hanya dari sisi bencana, pencemaran air sungai juga dapat menyebabkan akses air yang kurang layak bagi masyarakat Indonesia. Ditambah akses sanitasi yang juga masih minim, tentu saja masyarakat Indonesia terpapar risiko penyakit yang luar biasa, misalnya diare. Menurut World Health Organization (WHO), 100.000/tahun anak Indonesia meninggal karena diare, dan terdapat 120 juta kejadian penyakit setiap tahunnya karena air dan sanitasi yang buruk.

Pada Oktober 2016, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang P.S. Brodjonegoro juga menyampaikan bahwa: “Sepertiga anak balita Indonesia mengalami stunting, atau gangguan pertumbuhan waktu masa kecilnya, tidak hanya karena gizi buruk, tetapi juga karena buruknya sanitasi dan pemenuhan air bersih”. Kondisi ini cukup berisiko terutama jika dikaitkan dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia.

Dalam kajian lain, studi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 2,4% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar US$ 6,3 miliar (sekitar Rp 86,84 triliun) tiap tahun karena akses air, sanitasi, dan higiene yang buruk.

Selain itu, Bank Dunia juga menambahkan setiap tambahan konsentrasi pencemaran Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 1 mg/liter pada sungai, akan meningkatkan biaya produksi air minum sekitar Rp 9,17 per meter kubik.

Sebagai penutup, jika ingin menghindari kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah tiap tahunnya, kerusakan DAS dan danau yang terjadi secara terus menerus harus bisa dipulihkan. Namun tidak hanya terbatas di pemulihan, pemerintah juga perlu mulai menerapkan penataan ruang yang mengakomodir kebutuhan konservasi dan ekonomi secara bersamaan, dan menghasilkan alokasi tata ruang dan pembangunan kawasan DAS  yang berkelanjutan. Tentu saja hal tersebut harus didukung oleh peran serta kelembagaan lokal, kelompok pemerhati lingkungan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta.

Comments are disabled.